BATAM, RMNEWS.ID – Sekolah-sekolah di Gaza berada dalam situasi kritis akibat serangan yang terus menerus dari Israel dari masa 7 Oktober 2023 hingga 27 November 2024. Konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu tahun ini menyebabkan pendidikan terputus dan berdampak berat bagi anak-anak di kawasan tersebut.
Berdasarkan laporan terbaru, sudah ada sedikitnya 17.400 anak yang kehilangan nyawa di Gaza, sementara ribuan lainnya terjebak di bawah reruntuhan bangunan. Dari total anak yang terbunuh, terdapat sekitar 710 bayi di bawah usia satu tahun, 1.793 balita berusia 1-3 tahun, dan 1.205 anak berusia 4-5 tahun yang juga menjadi korban.
Anak-anak yang seumur sekolah juga tidak terhindar dari risiko ini, dengan laporan menyebutkan bahwa 4.205 anak sekolah dasar (6-12 tahun) dan 3.442 anak sekolah menengah (13-17 tahun) kehilangan nyawa akibat serangan tersebut. Selain itu, sekitar 658.000 anak terpaksa menghentikan pendidikan mereka akibat keadaan yang tidak aman.
Melansir dari bisik, dalam upaya menyelamatkan pendidikan anak-anak ini, Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau UNICEF, dan para mitranya berusaha mendirikan ruang belajar alternatif.
Untuk mendukung anak-anak tetap mendapatkan pendidikan, UNICEF telah membangun 39 ruang belajar sementara yang berfungsi sebagai kelas-kelas darurat. Ruang ini dilengkapi dengan tenda kelas, titik distribusi air, dan pusat dukungan kecil dengan pekerja sosial yang siap membantu.
Contoh dari ruang belajar ini adalah Asdaa Learning Space di selatan Jalur Gaza, di mana terdapat 130 guru yang bekerja sama untuk menawarkan dukungan pendidikan kepada sekitar 3.500 siswa. Salah seorang siswa bernama Laith yang berusia 10 tahun merasa sangat terbantu dengan adanya program ini. Ia mengingat masa-masa sebelum serangan dan mengatakan, “Saya mendapat manfaat dari sekolah; sekarang saya bisa membaca dan menulis (lagi),” ujarnya.
Penghancuran gedung sekolah oleh Israel telah menjadi masalah besar yang dikhawatirkan, karena ini tidak hanya mengakibatkan batasan akses belajar, tetapi juga merenggut nyawa banyak anak-anak yang menginginkan pendidikan. Direktur Eksekutif UNICEF menegaskan bahwa sekolah seharusnya tidak menjadi sasaran dalam konflik, dan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan serta hak atas pendidikan meskipun sedang terjadi perang.
Kedepannya, program UNICEF akan memperluas layanan ruang belajar sementara serta menyediakan dukungan untuk 5.000 anak dan keluarga mereka. Kerja sama dengan Rahmatin Lil Alamin Foundation dari Singapura juga akan mendukung perjalanan ini. Pada tahap awal, beberapa anak berusia antara 7 dan 13 tahun akan mendapatkan pelajaran dalam mata pelajaran penting seperti matematika, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan sains untuk memastikan mereka tidak tertinggal dalam pembelajaran.
Dalam mendukung proses belajar mengajar, UNICEF akan memberikan pelatihan bagi staf serta relawan dan menyediakan alat-alat belajar baru serta perlengkapan yang diperlukan untuk setiap tenda.
Organisasi tersebut juga mengingatkan bahwa tanpa akses terhadap pendidikan, anak-anak di kawasan konflik ini bisa menghadapi risiko yang lebih besar, seperti eksploitasi, pernikahan dini, dan kemungkinan putus sekolah secara permanen.
Editor: Andika
Sumber: bisik